Kamis, 08 April 2010

Masih Banyak Masalah, Pergantian Slogan Pajak Tak TepatSuhendra - detikFinance

Jakarta - Rencana direktorat jenderal (ditjen) pajak untuk mengganti slogan pajak lamanya 'Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaanya' dinilai tidak tepat disaat korps pajak sedang menghadapi kondisi krisis kepercayaan. Justru sebaiknya ditjen pajak harus terlebih dahulu melakukan pembenahan manajemen krisis dengan mengedepankan sesuatu yang lebih konkret. "Kalau dari sisi marketing jangan main ganti slogan pada saat begini, jangan main slogan. Lebih baik konsolidasi internal itu jadikan berita," kata pakar marketing Rhenald Kasali saat dihubungi detikFinance, Kamis malam (8/5/2010). Menurutnya pergantian slogan saat ini justru akan menjadikan ditjen pajak menjadi tertawaan publik. Ditjen pajak harusnya melakukan pembenahan internal seperti kesungguhan pemberhentian oknum yang terlibat makelar kasus, pembentukan tata nilai dan lain-lain. Sehingga langkah-langkah konkrit itu akan menimbulkan simpati masyarakat. Sedangkan pergantian slogan justru hanya akan memancing pencitraan bahwa ditjen pajak hanya lips service saja. "Hukum marketing mengatakan pada saat terjadi bad image, jangan melakukan aksi-aksi yang sifatnya manipulatif tapi lakukan sesuatu yang konkrit dan menyembuhkan luka," jelas Rhenald. Dikatakan Rhenald, jika ditjen pajak telah melakukan pembenahan internal secara konkrit dan tuntas, maka langkah pergantian slogan baru bisa dilakukan. "Sekarang ini tidak boleh melakukan change management tapi crisis management yang saat ini terjadi, karena terancam penerimaan pajaknya, mereka tidak punya wibawa, ada kemarahan publik," serunya. Seperti diketahui ditjen pajak menyampaikan wacana untuk mengubah slogan pajak yang merupakan simbolisasi transparansi korps pajak. Bahkan ada kabar untuk mendapatkan slogan baru tersebut ditjen pajak akan melakukan sayembara. Apa slogan pajak baru yang tepat bagi anda?
Minimarket Tak Perlu Dibatasi, Kalau Jenuh Mati SendiriSuhendra - detikFinance

Jakarta - Para pedagang tradisional tak perlu khawatir berlebihan terhadap menjamurnya toko moderen minimarket di segala pelosok wilayah. Minimarket-minimarket yang berlebihan dengan sendirinya akan mati jika sudah menemukan titik jenuh."Tidak perlu dibatasi karena nanti akan mati sendiri," kata Direktur Ritailer Service The Nielsen, Yongky Surya Susilo saat dihubungi detikFinance, Kamis (7/5/2010).Namun ia menggarisbawahi, para pemilik toko tradisional harus tetap berbenah diri menjadi toko yang berbasis swalayan. Menurutnya semua peritel sukses di Indonesia ataupun global, berangkat dari toko tradisional berubah menjadi swalayan."Jika minimarket dilarang , berarti pelaku toko tradisional tidak dapat merubah model bisnis dan seumur hidup peluang bisnisnya pas-pasan," katanya.Menurutnya, model bisnis self service (swalayan) adalah yang paling cocok di kota urban. Hal ini karena konsumen senang melayani diri sendiri dan umumnya menghendaki yang pasti-pasti."Kami selalu menyarankan toko tradisional mengubah model bisnis mereka menjadi semi swalayan atau full swalayan," jelasnya.Selain itu, kata dia, model bisnis swalayan akan mempunyai faktor impulse buying atau pembelian oleh konsumen secara mendadak atau tidak direncanakan yang akan menjadi keunggulan."Dari hasil riset konsumen, 60% barang di swalayan dibeli secara impulse. Impulse adalah darah bagi bisnis ritel. Tidak ada impulse berarti pas-pasan," imbuh Yongku.Sementara pemerintah diharapkan membantu dengan membangun distribustion center untuk toko tradisional , karena pasar tradisional akan mendapat barang yang pasti dan harga yang baik."Training pelayanan dan manajemen sederhana," serunya.Berdasarkan data The Nielsen yang diperoleh detikFinance menyebutkan total minimarket pada tahun 2005 hanya mencapai 6.465 outlet, tahun 2006 bertambah menjadi 7.356 outlet, tahun 2007 sebanyak 8.889 outlet atau 0,5 % dari toko tradisional yang mencapai 1,9 juta toko.Sedangkan hingga Desember 2009 The Nielsen mencatat jumlah outlet Indomaret bertambah menjadi 3892 outlet dari tahun sebelumnya 3093 outlet. Alfamart mencapai 3373 outlet naik dari tahun sebelumnya 2779 outlet. Untuk Alfamidi plus Alfa Express mencapai 141 outlet naik dari tahun sebelumnya 60 outlet, Circle K menjadi 259 outlet, tahun sebelumnya 210, Start Mart menjadi 122 (posisi Agustus 2009) posisi tahun 2008 hanya 116 outlet dan Yomart mencapai 220 outlet pada Desember 2009 sedangkan tahun sebelumnya 162 outlet.

pajak

Bahasyim (Foto: dok Metro TV)

Foto Terkait
Dua Rumah Mewah Bahasyim Jakarta - Eks pejabat pajak Bahasyim Assifie diketahui memiliki Rp 64 miliar, yang menurut pengacaranya merupakan uang hasil kerja kerasnya selama 34 tahun bekerja di pajak. Secara akal sehat, sulit bisa memahami Bahasyim bisa memiliki dana sebesar itu.Wakil Komisi XI Ahsanul Qosasi minta Bahasyim Assifie mengatakan, Bahasyim sangat mengherankan bagaimana seorang PNS seperti dia bisa memiliki rekening hingga miliaran rupiah. Kecuali jika memang Bahasyim berbisnis dengan omzet yang cukup mengejutkan."Bisa jadi karena ada aktifitas bisnis, tapi kan dia PNS, bagaimana untuk berbisnis. Oleh karena itu, buktikan aktifitas bisnisnya sampai mendapat Rp 60-70 miliar. Dalam kaidah akal sehat itu sulit, kecuali beliau sudah pensiun 5 tahun yang lalu, tapi ini kan baru 1 april. Bagaimana PNS masih mengelola sampai dapat Rp 65 miliar. Tapi hak Bahasyim untuk menyampaikan itu," ujarnya saat dihubungi detikFinance, Jumat (9/4/2010).Dengan rekening sekitar Rp 64 miliar yang dimiliki Bahasyim, Ahsanul memprediksi perputaran bisnisnya mencapai kisaran Rp 2,5 triliun."Itu baru rekening tunai lho, asetnya di mana-mana. Totalnya lebih dari itu, kalau margin untungnya 5-10%, pendapatannya Rp 100 miliar maka turn over atau perputaran bisnisnya mencapai Rp 2,5-6 triliun," jelasnya.Ahsanul menyatakan tidak masalah jika seorang PNS melakukan bisnis selagi tugasnya sebagai PNS tidak terbengkalai. Namun, kalau pembisnis aktif pastilah harus fokus dan hadir setiap waktu. Di sinilah, Bahasyim diminta menjelaskan aktivitas bisnis yang dilakukannya."Bahasyim itu berbisnis seperti apa,berbisnis kan ada yang aktif dan ada yang pegang saham saja, PNS ini kan gak akan sebagai direktur yang harus hadir setiap waktu, mungkin saja istrinya yang menjalankan bisnisnya. Jadi buktikan secara terbalik, kenapa seorang PNS bisa punya pendapatan seperti itu," pungkasnya.Pengacara Bahasyim, John K Aziz sebelumnya mengatakan, dana milik kliennya yang tersimpan di BNI sebesar Rp 64 miliar bukan hasil tindak pidana pencucian uang. John menjelaskan, uang sebesar Rp 64 M itu diperoleh Bahasyim dari uang hasil kerja kerasnya selama 34 tahun di Ditjen Pajak."Sebagai salah satu pegawai sipil, Pak Bahasyim ini pintar mengelola uangnya dan keluarganya juga produktif," katanya.Sejak tahun 1990-an, menurutnya, pundi-pundi uang itu kemudian dikumpulkan dan disimpan di berbagai bank atas nama 3 anak dan istrinya. Uang tersebut, katanya, kemudian diputarnya dengan melakukan bisnis jual beli tanah, reksadana, saham dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI).Di tahun 2005, dari usaha tersebut, akhirnya terkumpul uang sebesar Rp 30 M. Sejak tahun 2005 hingga 2010, uangnya kian bertambah besar hingga mencapai Rp 64 Miliar.Atas dana yang mencurigakan itu, pihak Polda Metro Jaya akan memeriksa Bahasyim pada Senin, 19 April pekan depan. Bahasyim pernah diperiksa dalam kasus yang sama di tahun 2009.Sementara Kementerian Keuangan dalam siaran persnya menjelaskan, Bahasyim memang pegawai Kemenkeu yang dipekerjakan di Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan diangkat sebagai pejabat struktural eselon II (Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan) pada tanggal 30 Mei 2008. Namun Bahasyim sudah mengundurkan diri dari Bappenas sejak 1 April 2010.(nia/qom)